Budaya tahlilan dan yasinan merupakan salah satu budaya masyarakat di Indonesia yang hingga sekarang ini masih terpelihara. Hal ini terkait tidak saja pada kepercayaan yang bersifat teologis akan manfaat tahlilan bagi pembacanya, tetapi juga pada persoalan tradisi sosio-kultural yang menyertainya. Selama mengikuti prosesi tahlilan dan yasinan, sama sekali tidak terlihat hal-hal yang di khawatirkan oleh kelompok yang menolak amalan tersebut, yakni bahwa acara semacam ini bisa membuat orang menjadi syirik (menduakan Tuhan) atau bid’ah (mengada-ada).
Pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka maupun yang tidak suka dengan tahlilan dan yasinan, namun sebagai wacana untuk berpikir jernih dan dewasa bahwa bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, memerlukan media yang bisa mempersatukan berbagai elemen masyarakat yang berbeda ideologi dan keyakinan. Tradisi sekaligus amalan tersebut di harapkan bisa menjadi alternatif dari persoalan-persoalan yang ada. Tahlilan di harapkan mampu meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan kerukunan umat di Indonesia, khususnya umat muslim di desa Duren.
Tradisi tahlilan & yasinan di desa Duren di hadiahkan pahalanya untuk keluarganya, tokoh agama setempat, dan para mu’assis atau para ulama (mendoakan orang yang sudah meninggal) yang telah mendirikan organisasi ini dan berjuang untuk NU. Acara Tahlilan biasanya di adakan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid atau pesantren dengan mengadakan sebuah acara pengajian keagamaan. Di samping itu, tahlilan juga diadakan pada acara-acara tertentu, seperti acara haul, pemberangkatan haji, halal bil halal, menjelang perkawinan seseorang, dan khitanan untuk menjadikan kerukunan hidup antar tetangga semakin erat.
Acara tersebut di ikuti oleh jama’ah bapak-bapak dan ibu-ibu di salah satu dusun yang ada di desa Duren yaitu dusun Mejing yang di dalamnya terdapat 5 RT. Mulai dari RT 04 rutinan tahlilan dan yasinan diadakan jamaah bapak-bapak setiap malam Jum’at ba’da isya, setiap malam Ahad ba’da magrib jamaah ibu-ibu rutinan berada di RT 01 dan RT 05, setiap malam Rabu ba’da Isya’ rutinan bertempat di RT 02 yang diadakan oleh jama’ah bapak-bapak dan ibu-ibu, dan setiap malam Kamis ba’da isya’ berada di RT 03 dengan jama’ah laki-laki. Tradisi Tahlilan ini selain bertujuan untuk mengingatkan kematian, tradisi tahlilan diselenggarakan untuk mengirim do’a pada kerabat yang meninggal.
Begitu pula yang dilakukan di dusun Mejing Desa Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Acara Tahlilan selalu di agendakan hampir setiap harinya. Walaupun sedang menghadapi situasi Pandemi Covid-19 yang kurang bersahabat ini, disana tetap menyelenggarakan tahlilan yang diikuti tidak hanya oleh kaum pria, ibu-ibu dan remaja masjid pun bergabung pada kegiatan tersebut. Selain tahlilan, masyarakat juga banyak tradisi yang bersifat massal seperti Jam’iyyah Sholawat yang dilakukan setiap malam rabu, Khotmil Qur’an setiap Jum’at wage dan Manaqiban yang diadakan setiap selapan sekali di hari yang berbeda.
Budaya Khatmil Qur’an dan Sholawat merupakan nilai budaya yang diyakini kebenaran secara bersama dan nilai itu diwariskan dari generasi ke generasi. Acara khataman ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Allah dan mengharap agar masyarakat khususnya desa Duren dapat mengamalkan al-Qur’an dengan baik sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Sedangkan sholawat dilakukan agar masyarakat mendapatkan syafa’at dari Rasulullah SAW. Tujuan dari sholawat ini tidak lain untuk menambah ilmu tentang Rasulullah dan sangat bermanfaat bagi generasi-generasi penerus Islam selanjutnya terkhusus untuk memajukan pengetahuan keagamaan di desa Duren.
Dalam situasi pandemi Covid-19 pada saat ini tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk menguatkan aspek hubungan sesama manusia (hablum minannas). Berkumpul bersama, saling berjabat tangan penuh keakraban, makan bersama sehingga terlihat sangat indah dan tak jarang dengan pertemuan tersebut muncul ide gagasan untuk membangun daerah ke arah yang lebih baik.
Tradisi ini (yasinan dan tahlilan) merupakan ruang konsolidasi masyarakat di tingkat akar rumput atau tingkat bawah. Tradisi ini biasanya dalam bentuk kelompok atau jama’ah tingkat dusun. Mereka secara bergiliran sesuai dengan urutan rumah ke rumah untuk ditempati kegiatan. Adapun mengenai akomodasi berupa makan dan minum dilakukan secara swadaya.
Menurut penulis, tradisi yasin dan tahlil dirasa sangat sederhana. Mulai dari hadroh(kirim pahala kepada ahli kubur), sholawat, hingga makan bersama yang dilakukan masyarakat di dusun Mejing. Kedua kegiatan tersebut selalu mendapatkan antusiasme yang sangat tinggi dari masyarakat. Hal itu karena kedua kegiatan tersebut dianggap kegiatan wajib sebagai rutinitas warga nahdiyyin (NU).
Berdasarkan aspek historis ini, bisa diketahui bahwa sebenarya tradisi tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain. Jadi, tradisi tahlilan, khususnya yang ada di Indonesia, merupakan hasil negosiasi antara agama pribumi dengan agama Islam yang datang kemudian, yang dilakukan oleh para mubaligh yang memahami akan kondisi masyarakat Indonesia.
Tahlilan yang pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai-nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada tetangga, kerabat atau saudara yang meninggal dunia, maka para kerabat famili dan tetangga biasanya akan berkumpul dan “jagongan” (berbincang-bincang) di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain kartu/judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan mayyit.
Tahlilan juga bisa memotivasi orang yang tertimpa musibah agar lebih bersabar dan tidak melakukan ratapan, menghiburya agar melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya, dan lain sebagainya. Tidak ada yang lebih baik dari menghibur serta meringankan bebannya selain mengajaknya berdzikir (mengingat Allah), dan berdoa bersama-sama, mendoakan si mayyit dan keluarga yang ditinggalkannya.
Melalui tahlilan, akan terbentuk pembinaan umat lewat jalur jamaah kebersamaan serta tercipta kesinambungan antar generasi (tua dan muda) dengan baik. Dengan di bangunnya komunikasi model ini, akan timbul penghormatan dan penghargaan kepada generasi sebelumnya, yaitu generasi yang sudah wafat. Inilah salah bentuk persaudaraan muslim yang dicoba untuk diwujudkan melalui aktivitas tahlil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar