MAKALAH
DAKWAH BERBASIS MASYARAKAT
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sosiologi Dakwah
Dosen Pengampu : Suprihatiningsih, S.Ag., M.Si
Disusun
oleh
:
1.
Muhammad Muhlis Faroqi (1701046041)
2.
Annisa Nuha Nabilah (1701046055)
3.
Dinna Sixteen Noviany (1701046067)
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN WALISONGO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran Islam adalah konsepsi yang
sempurna dan kompeherensif, karena ia meliputi segala aspek kehidupan manusia,
baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Islam secara teologis merupakan
sistem nilai dan dan ajaran yang bersifat ilahiah dan transenden. Sedangkan
dari aspek sosiologis , Islam merupakan fenomena peradaban, kultural, dan
realistis sosial dalam kehidupan manusia.
Selanjutnya salah satu aktivitas
keagamaan yang secara langsung digunakan untuk mensosialisasikan ajaran Islam
bagi penganutnya dan umat manusia pada umumnya adalah aktivitas dakwah.
Aktivitas ini dilakukan baik melalui lisan, tulisan, maupun perbuatan nyata. [dakwah
bi al-lisan, wa al-qalam wa bi al-hal]
Secara kualitatif dakwah Islam
bertujuan untuk mempengaruhi dan mentransformasikan sikap batin dan perilaku
warga masyarakat menuju suatu tatanan kesalehan individu dan kesalehan sosial.
Dakwah dengan pesan-pesan keagamaan dan pesan-pesan sosialnya juga merupakan
ajakan kepada kesadaran untuk senatiasa memiliki komitmen [istiqomah] di
jalan yang lurus. Dakwah adalah ajakan yang dilakukan untuk membebaskan
individu dan masyarakat dari pengaruh eksternal nilai-nilai syaitaniah dan
kejahiliahan menuju internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Disamping itu, dakwah
juga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman keagamaan dalam berbagai aspek
ajarannya agar diaktualisasikan dalam bersikap, berpikir dan bertindak.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian tipologi masyarakat?
2.
Apa
saja prinsip-prinsip dasar pendekatan dakwah berbasis masyarakat?
3.
Bagaiman
model-model pendekatan dakwah berbasis masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Tipologi Masyarakat
Secara etimologi, kata tipologi berasal
dari bahasa yunani, yaitu “typos” dan “logos” yang berarti imu pengelompokan.
Dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia) KBBI tipologi diartikan sebagai ilmu watak
tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak watak
masing-masing. Dengan demikian, tipologi dapat didefinisikan sebagai kajian
suatu bidang ilmu dalam mendeskripsikan kelompok-kelompok yang didasarkan atas
kesamaan karakter atau watak.
Sementara itu, kata masyarakat dalam
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) KBBI diartikan sebagai sejumlah manusia dalam
arti yang seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap
sama. Maclver dan page mendefinisikan masyarakat sebagai suatu sistem dari
kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok
dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia.
Tipologi merupakan sekumpulan
sifat-sifat yang relatif sama, sementara sifat merupakan satuan-satuan tipe
yang tidak dikumpulkan. Dengan pengertian tersebut, tipologi kepribadian islam
yang dimaksudkan disini adalah satu pola karakteristik berupa sekumpulan
sifat-sifat yang sama, yang berperan sebagai penentu ciri khas seorang muslim
dan yang membedakan dengan yang lain. Perbedaan pola karakteristik yang disebut
itu adalah baik antara sesama muslim atau antara seorang muslim dengan non
muslim.[1]
Jadi, berdasarkan paparan di atas, maka
yang dimaksud dengan tipologi masyarakat adalah pengelompokan masyarakat
beragama kedalam jenis-jenis kelompok yang didasarkan atas kesamaan corak,
watak, dan karakteristik tertentu yang menandainya.
2. Prinsip-Prinsip Dasar Pendekatan Dakwah
Berbasis Masyarakat
Yaitu acuan prediktif yang menjadi dasar
berpikir dan bertindak realisasikan bidang dakwah yang mempertimbangkan aspek
budaya dan keragamanya ketika berinteraksi dengan mad’u dalam rentangan ruang
dan waktu seusai perkembangan masyarakat.
Dalam Al-Qur’an tersebar ayat-ayat yang
mengisyaratkan adanya makna fungsional sebagai metode juga memuat
prinsip-prinsip dakwah baik secara implisit maupun eksplisit.
Misalnya, dalam Al-quran surat An-nahl ayat 125. Apabila diperinci satu persatu
berdasarkan isyarat ayat terrsebut, maka prinsip-prinsip dakwah termasuk dakwah
antar budaya meliputi, antaralain sebagai berikut:
a. Prinsip Tauhid
Prinsip
tauhid, yakni keharusan mengajak, bukan mengejek, kepada jalan Allah SWT (ila sabili rabbi). Meskipun dakwah telah
memiliki konotasi sebagai upaya-upaya pemahaman, gerakan, dan perorganisasian
dalam menyampaikan pesan-pesan islam, dalam praktiknya tak semudah seperti yang
dipikirkan. Oleh karena itu, perlu penegasan lebih lanjut mengingat
pertimbangan-pertimbangan psikologis maupun sosiologis da’i dan mad’u.
Secara
psikologis, nurani tindakan berdakwah merupakan panggilan bagi setiap orang yang
beriman dan berilmu (da’i) seusai kecakapanya masing-masing. Sementara bagi
mad’u harus mengikut seruan-seruan tersebut. Hal ini mesti tertanam dalam benak
batin orang-orang yanag beriman. Kekuatan keyakinan akan dakwah islam sebagai
implementasi iman dan aktivitas sholeh akan teraktulisasikan melalui
aktivita-aktivitas keseharianya. Aktivitas-aktivitas sholeh tersebut dalam
dinamika dan ragamnya terpantul secara konkret tak hanya berbentuk aktivitas
fisik, tetapi juga melalui munculnya ide-ide atau gagasan. Kemudian dari
ide-ide tersebut berkembang dan melembaga sehingga terjadi kelembagaan pranata
masyarakat atau proses institusionalisasi dakwah yang pada akhrinya akan
membentuk suatu arah terbentuknya masyarakat damai, bermoral, teratur dan
beradab. Meskipun begitu, tetap harus mengikuti prisip-prinsip dakwah berikutnya.
b. Prinsip Bil Hikmah (Kearifan)
Hikmah
adalah sikap mendalam sebagai hasil renungan yang teraktulisasikan pada
cara-cara tertentu untuk mempengaruhi orang lain atas dasar pertimbangan psiko-sosio-kultural mad’u secara
rasional. Hikmah adalah suatu syarat mutlak suksesnya pencapaian tujuan dakwah.
Prinsip hikmah ini terutama ditujukan bagi mad’u golongan cerdik cendikia,
tetapi menolak kebenaran dalam ranah dakwah mujadalah (berdebat/diskusi) dan
hikmah ukhuwah hasanah (contoh, tauladan yang baik) dalam ranah kondisi mad’u
orang awam.
Hikmah
itu sendiri menurut Ali Mahfoed, adalah karunia Allah kepada orang yang dicintainya. Allah (Al Hakim) memberi
karunia kepada seseorang, maka ia akan banyak memperoleh kebaikan dan
kebajikan. Kebajikan tersebut biasanya tidak untuk dirinya sendiri, tetapi juga
untuk orang lain. Dekat dengan hikmah (kebijaksanaan adalah sifat atau perilaku
adil). Karenanya perilaku adil juga harus merupakan bagian dari sikap da’i
dalam berdakwah, baik menyangkut metode, mad’u maupun materi dakwah.
c. Prinsip
Bil Mau’idzah Hasanah
Bil
mau’idzah hasanah adalah menasehati seseorang dengan tujuan tercapainya suatu manfaat
atau maslahat baginya. Bil mau’idzah hasanah merupakan cara berdakwah yang
disenangi, mendektkan manusia kepada-Nya dan tidak menyesatkan meraka,
memudahkan dan tidak menyulitkan. Alhasil, bil mau’idzah hasanah adalah
perkataan ynag masuk kedalam kalbu dengan penuh kasih sayang sehingga perasaan
menjadi lembut. Tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak harus
dilarang dan tidak menjelek-jelekan atau membongkar kesalahan. bil mau’idzah
hasanah atau tutur kata yang baik, minimal tidak menyinggung ego dan melukai
perasaan hati orang lain, maksimal memberi kepuasan hati orang lain, baik
dengan sengaja maupun tidak.
d.
Prinsip
wajadilhum bilati hiya ahsan
(berdebat dengan cara yang paling indah atau tepat dan akurat).
Prinsip wajadilhum bilati hiya
ahsan yakni prinsip pencarian dan kebenaran yang mengedepnkan kekutan
argumentasi logis bukan kemenangan emosi yang membawa bias, terutama yang
menyangkut materi dan keyakinan seseorang, idola dalam hidup dan tokoh panutan.
e. Prinsip Universalitas
Islam
adalah ajaran tauhid. Kalimat tauhid la
ilahailaah (tiada tuhan selain Allah) adalah landasan universalisme islam.
Tidak ada seusatu kecenderungan (illah/
lil/ elohim/ hanif) kecuali hanya kecenderungan benar kepada-Nya.
Prinsip
nilai-nilai universalitas dapat dilihat juga dalam khotbah terakhir Nabi
Muhammad Saw : “…semua kalian adalah
keturunan Adam, dan Adam berasal dari tanah. Orang arab tak lebih mulia dibanding
non arab, begitu pula orang kulit putih atas orang kulit hitam, kecuali
ketakwaan iman nya…” Penggalan isi pidato nabi ini baru menjadi isu aktual
para pemimpin dunia sekarang ini, jauh puluhan abad Muhammad telah
megumandangkan. Dan semua manusia berkewajiaban menangggapi seruaan Allah
dengan penuh kesadaran dan penuh ketaatan.
f. Prinsip Liberation (Pembebasan)
Pembebasan
disini memiliki dua arti, pertama, bagi da’i yang melaksanakan tugas dakwah
harus bebas dari segala ancaman terror yang mengancam kesalamatanya, terbebas
dari segala kekurangan materi untuk menghindari fitnah yang merusak citra da’i
dan harus benar-benar yakin bahwa kebenaran ini hasil penilaianya sendiri.
Kedua, kebebasan terhadap mad’u tidak ada paksaan dalam agama.
Dalam
berdakwah memang sudah seharusnya tidak bersifat memaksa apalagi tindakan
intimidasi dan terror. Yang diharapkan dari mad’u adalah pesetujuan bukan
paksaan. Tujuannya adalah meyakinkan bahwa islam adalah benar.
g. Prinsip Rasionalitas
Merupakan
respon asasi terhadap masyarakat yang menggunakan prinsip amal hidupnya dengan
prinsip-prinsip rasional, seperti yang sedang terjadi pada masyarakat sekarang.
Hubungan antara individu dengan masyarakat lainya terikat kontrak dalam situasi
fungsional terutama ukuran-ukuran yang bersifat materi. Posisi da’i dalam
peranya mengahadapi mad’u yang rasional ini adalah megimbanginya denganp
pendekatan-pendekatan yang rasional baik dalam pemahaman nilai agama, maupun
prakrik keagamaan. Sikap proaktif seoarang da’i dalam proses bimbinganya serta
ikut partisipasi dalam setiap perkembangan yang terjadi dimasyarakat adalah
bentuk empirik sikap rasional.
h.
Prinsip
yatlu’ alaihim ayatihi (membacakan)
Yatlu
’alaihim ayatihi, adalah suatu prinsip penahapan dalam berdakwah.
Pengungkapan mealui ketajaman sensualitas indra lisan masih sangat diperlukan,
bahkan masih menjadi prinip utama hingga dewasa ini.
i.
Prinsip
wa yuzkihim wa yualimuhumal-kitab wa la-hikmah
(pencucian jiwa dengan pengajaran al-kitab dan al hikmah)
wa
yuzkihim wa yualimuhumal-kitab wa la-hikmah
(pencuccian jiwa dengan pengajaran al-kitab dan al hikmah) adalah prinsip
pencucian dari anasir-anasir jahiliyah dan kebodohan. Hal ini merupakan
prioritas dalam aktivitas dakwah dan mengisinya dengan ilmu yang berlandaskan
keimanan adalah solusi yang paling tepat dan strategis.
j.
Prinsip
Mengakan Etika Atas Dasar Kearifan Budaya
mengakkan
etika atas dasar kearifan budaya yang megacu pada pemikiran teologi qurani,
yaitu prinsip moral dan etik yang diturunkan dalam isyarat al-quran dan
as-sunnah tentang nilai baik buruk dan keharusan perilaku ketika melaksanakan
dakwah islam termasuk didalam nya bidang dakwah antar budaya.[2]
3 3. Model-model pendekatan dakwah Berbasis Masyarakat
masyarakat sasaran Dakwah sangatlah heterogen, mereka
terdiri dari kalangan intelektul, pejabat, pengusaha sampai rakyat jelata. Ada
laki-laki, ada perempu’an, ada orang tua, remaja, dan ada anak-anak, ada
masyarakat kota (urban) dan ada masyarakat desa (rural), disamping masyarakat,
yang sering terlupakan, dengan berbagai problem kehidupan yang mereka hadapi. Maka dari itu munculah model-model
pendekatan berbasis masayarakat, yakni tadbir, tathwir, irsyad dan
tabligh/ta’lim. Keempatnya menghendaki keterlibatan da’i secara langsung dalam
pengentasan kemiskinan dan solusi dari beragam persoalan kehidupan yang mereka
hadapi.
a. Tadbir
Tadbir adalah
Dakwah melalui dakwah dan manajemen dakwah masyarakat yang dilakukan dalam
rangka perekayasaan sosial dan pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan yang
lebih baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), pranata sosial
keagamaan serta menumbuhkan pengembangan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat dengan kegiatan pokok seperti penyusunan kebijakan, perencanaan
program, pembagian tugas dan pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta
pengevaluasian dalam dakwah masyarakat dari aspek perekonomian dan
kesejahteraannya. Dengan kata lain tadbir berkaitan dengan Dakwah melalui
dakwah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman.
b. Tathwir
Tathwir
dilakukan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi keumatan. Pertama tathwir
dilakukan dalam rangka peningkatan sosial budaya masyarakat melalui upaya
pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran islam dalam realitas
kehidupan masyarakat luas seperti kegiatan humaniora, seni budaya, penggalangan
ukhuwah islamiyah, pemeliharaan lingkungan, kesehatan dan lain-lain. Dengan
kata lain tathwir berkaitan dengan kegiatan Dakwah melalui pendekatan washilah
sosial budaya atau Dakwah kultural. Kedua, melalui program jaring pengaman sosial (sosial safety
net) yang lebih menyentuh persoalan kebutuhan primer dan berorientasi pada
kesetiakawanan serta keperdulian sosial. Ketiga, melalui pemberdayaan (empowerment)
fungsi institusi-institusi sosial dalam menangani problematika kehidupan
masyarakat. Keempat, melalui upaya
kondisioning dalam pemahaman, sikap dan persepsi tentang keberagaman dan dakwah
manusia seutuhnya.
Kelima, membentuk
atau melalui upaya kerjasama dengan panti-panti rehabilitasi sosial, seperti
panti jompo, panti anak yatim dan terlantar, program anak asuh, dakwah rumah
singgah yang aman dan nyaman untuk anak-anak jalanan dan sebagainya.
c. Irsyad
Irsyad
merupakan upaya-upaya Dakwah yang dilakukan dalam bentuk penyuluhan dan
konseling islam. Dakwah model ini dilakukan dalam rangka pemecahan masalah
sosial (problem solving) psikologis melalui kegiatan pokok bimbingan dan
konseling pribadi, keluarga dan masyarakat luas baik secara preventif maupun
kuratif. Mengapa hal ini harus dilakukan? Sebab
Dakwah mestinya bisa memberi jawaban dan solusi jitu atas ragam persoalan yang
melanda kehidupan masyarakat.
Dakwah
pun harus berorientasi pada “Dakwah” yang membebaskan manusia dari ragam
persoalan kehidupan. Permasalahan di kehidupan tidak hanya angkara murka,
kesombongan diri, iri hati/ dengki, rakus dan lahap jalaluddin rahmat, namun tentu saja ada permasalahan
kehidupan lainya.
Itulah
sebabnya, fokus Dakwah tidak lagi hanya sekadar dialog tentang halal-haram,
baik-buruk, wajib-sunnah dan seterusnya. Akan tetapi Dakwah juga harus bisa
digandengkan dengan berbagai persoalan lain yang lebih aktual, misalnya upaya
dalam meningkatkan kesejahteraan (perekonomian) hidup umat, penguasaan ilmu dan
teknologi, informasi dan komunikasi, kesehatan jiwa dan mental, ketenteraman
dan kedamaian, dan sebagainya. Dakwah mestinya hadir dalam berbagai lingkup dan
dimensi yang berisikan sejumlah tawaran dan
alternatif solusi untuk
umat dalam
mengatasi berbagai masalah kehidupan yang mereka hadapi.
d. Tabligh/ta’lim
Model Tabligh atau ta’lim dilakukan
sebagai upaya penerangan dan penyebaran pesan Islam dan dalam rangka
pencerdasan serta pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok, sosialisasi,
internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai ajaran Islam, baik dengan
menggunakan sarana mimbar maupun media massa (cetak dan audio visual). Dan Dakwah pada masyarakat
menggunakan metode Bi al-Hikmah. Yaitu suatu pendekatan yang sedemikian rupa
sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas
kemauanya sendiri, tidak merasa ada paksaan, konflik, maupun rasa tertekan.
Hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi yang dilaksanakan atas
dasar persuasive. Karna dakwah bertumpu pada human oriented, maka konsekuensi
logisnya adalah pengakuan dan penghargaan pada hak-hak yang bersifat
demokratis.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tipologi dapat didefinisikan sebagai kajian
suatu bidang ilmu dalam mendeskripsikan kelompok-kelompok yang didasarkan atas
kesamaan karakter atau watak. Masyarakat dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
KBBI diartikan sebagai sejumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya yang
terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Jadi, tipologi
masyarakat adalah pengelompokan masyarakat beragama kedalam jenis-jenis kelompok
yang didasarkan atas kesamaan corak, watak, dan karakteristik tertentu yang
menandainya.
Prinsip-prinsip berdakwah berbasis
masyarakat ada 10 macam yaitu: prinsip tauhid, Prinsip Bil Hikmah (Kearifan), Prinsip Bil
Mau’idzah Hasanah, Prinsip wajadilhum
bilati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang paling indah atau tepat dan
akurat), Prinsip Universalitas, Prinsip Liberation (Pembebasan), Prinsip
Rasionalitas, Prinsip yatlu’ alaihim
ayatihi (membacakan), Prinsip wa
yuzkihim wa yualimuhumal-kitab wa la-hikmah (pencucian jiwa dengan
pengajaran al-kitab dan al hikmah), Prinsip Mengakan Etika Atas Dasar Kearifan
Budaya. Model-model pendekatan dakwah berbasis masyarakat ada 4 macam yaitu: Tadbir, Tathwir, Irsyad, Tabligh/ta’lim.
DAFTAR
PUSTAKA
Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian Dalam Psikologi Isam.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Aripudin, Acep. 2012. Dakwah Antar Budaya. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya
[1] Abdul mujib, kepribadian dalam psikologi islam, (Jakarta: PT raja
grafindo persada 2006), hlm 171-172
[2] Acep Aripudin, Dakwah Antar Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya
2012), hlm 44-54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar