سَأَلْتُكَ رَبِّيْ صِحَّةَ الْقَلْبِ وَالْجَسَدُ
وَعَافِيَةَ الْاَبْدَانِ وَالْاَهْلِ وَالْوَلَدُ
وَطُوْلَ حَيَاةٍ فِيْ كَمَالِ اسْتِقَامَةِ
ِوَحِفْظًا مِنَ الْاِعْجِابِ وَالْكِبْرِ وَالْحَسَد
(Kutipan doa sebelum jam pelajaran pertama dimulai di lingkungan sekolah Futuhiyyah)
* * *
Pagi sudah mulai beranjak siang saat ribuan alumni Futuhiyyah yang hadir dan memadati halaman Pondok Pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen Demak menggemakan doa yang saya kutipkan di atas. Doa itu adalah doa yang dulu dibaca bersama-sama di dalam kelas di setiap hendak memulai pelajaran jam pertama, sebelum pak kiai atau guru memberi salam.
Pada hari itu, doa itu dibaca kembali bersama-sama, menggema menelusup di relung sanubari, untuk mengenang dulu saat bersekolah di Futuhiyyah. Ya, hari itu, Ahad, 30 Juli 2017, memang dihelat Reuni Akbar 2017 Alumni Futuhiyyah Mranggen Demak, lintas lembaga dan lintas angkatan, dengan mengangkat tema “Merekatkan Silaturahmi, Merajut Kebersamaan Menuju Peradaban Global”.
Jadilah hari itu, ribuan alumni tumplek blek hadir dan memadati halaman Pondok Pesantren Futuhiyyah yang berada di Jalan Suburan, Mranggen, Demak. Sakingbanyaknya alumni yang hadir, halaman pesantren tak lagi bisa menampung, hingga meluber hingga ke luar halaman pesantren.
Reuni akbar lintas lembaga dan angkatan ini memang istimewa, karena baru pertama kali diadakan, dan dihelat dengan tujuan tentu agar para alumni tetap dekat dan memiliki hubungan batin yang kuat dengan para kyai; juga agar jalinan silaturahmi antar alumni semakin terbuhul erat untuk sama-sama bersinergi dan berkontribusi lebih maksimal lagimembangun umat; sekaligus sebagai obat kerinduan bagi alumni yang ingin memungut serpihan kenangan selama menimba ilmu di Futuhiyyah.
Alumni-alumni Hebat
Sebagai salah satu pesantren tertua, setidaknya di Jawa Tengah, Pesantren Futuhiyyah yang didirikan sejak tahun 1901 oleh simbah KH. Abdurrahman bin Qosidil Haq bin Abdullah Muhajir ini, tentu sudah memiliki ribuan santri yang tak terhitung lagi. Di antara ribuan alumni itu, kini telah memberikan kontribusi nyata di berbagai bidang.
Mereka menjadi tokoh dengan jangkauan masing-masing, dari mulai lokal, regional, nasional, hingga internasional. Saya menyebut mereka sebagai “alumni-alumni hebat”—meski yang tidak menjadi tokoh pun bukan berarti mereka tidak hebat.
Alumni-alumni hebat itu menyebar di tengah-tengah masyarakat. Ada yang menjadi kiai yang mengasuh pesantren; menjadi muballigh alias juru dakwah; menjadi dosen; guru besar; politisi; pengusaha;sastrawan; wartawan; dan sebagainya.
Di antara alumni-alumni hebat itu ada yang sejak awal saya ketahui sebagai alumni Futuhiyyah, namun lebih banyak lagi yang belum saya ketahui; dan di momentum reuni itulah baru saya ‘ngeh bahwa mereka ternyata adalah alumni Futuhiyyah.
Sebagian alumni-alumni hebat yang saya ketahui sejak lama dan hadir dalam reuni akbar tersebut, antara lain dua orang tokoh kebanggaan sebagai berikut:
- Habiburrahman El Shirazy
Kang Abik, sapaan akrabnya. Dikenal sebagai sastrawan muda terkemuka Indonesia yang bereputasi internasional. Ia adalah sastrawan Asia Tenggara pertama yang mendapatkan penghargaan dari The Istanbul Foundation for Sciences and Culture, Turki.
Selain itu, jebolan Al-Azhar Univercity Cairo ini telah diganjar berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri, di antaranya: penghargaan Sastra Nusantara tingkat Asia Tenggara; PARAMADINA AWARD 2009; Anugerah Tokoh Persuratan dan Kesenian Islam Nusantara dari Ketua Menteri Negeri Sabah, Malaysia; dan Tokoh Perubahan Indonesia dari koran Republika. Pada tahun 2008, Insani UNDIP mentahbiskannya sebagai Novelis No.1 Indonesia.
Kang Abik menjadi novelis yang melejit namanya saat novelnya berjudul Ayat Ayat Cintameledak di pasaran dan kemudian difilmkan. Kemudian disusul novelnya Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 yang juga best seller dan difilmkan, yang menjadikan namanya kian berkibar-kibar di jagad sastra nusantara.
Saya sendiri sebenarnya bukan penyuka novel. Namun di masa kecil, saya sering membaca buku-buku cerita yang bikin hati saya meleleh dan menangis, di antaranya buku cerita berjudul Mencari Ayah karya Arswendo Atmowiloto. Setelah remaja (apalagi setelah dewasa dan menikah), saya jarang membaca novel, kecuali cerpen-cerpen majalah Aneka Yess dan Anita Cemerlang, dan belakangan saya menyukai cerpen-cerpen Islami di majalah Annida.
Namun suatu ketika di toko buku Toha Putra di kampung Kauman, Semarang, saya terpana melihat novel berjudul Ayat Ayat Cinta. Novel yang beda, pikir saya. Saat itu Ayat Ayat Cinta belum booming. Dan saya pun kemudian membelinya.
Begitu sampai di rumah, saya langsung membacanya. Segera tandas dalam waktu singkat, dengan rekor berkali-kali mata saya meleleh mengeluarkan air mata haha… #serius hehe..
Sejak itulah saya gandrung dengan novel-novel karya Kang Abik. Saya pun kemudian selalu baca dan koleksi novel karya-karyanya; sejak Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, lalu Bumi Cinta, Api Tauhid, Ayat Ayat Cinta 2, dan tak ketinggalan yang ter-gress dari karya Kang Abik, dan saya beli sekira sebulan lalu di TB. Togamas Semarang, adalah novel berjudul Bidadari Bermata Bening—yang secara mengejutkan, ternyata bertokoh utama seorang santriwati cantik dan cerdas bernama Ayna dari Desa Kaliwenang, Kecamatan Kedungjati, Grobogan, yang tak jauh dari tempat tinggal saya.
Dan, saat reuni akbar alumni Futuhiyyah itu, Kang Abik hadir, karena beliau memang alumni Futuhiyyah. Saya pun bertemu dengannya dan dapat foto bersamanya. Di mata saya, Kang Abik adalah sosok yang ramah, rendah hati, dan supel, meski ia telah memiliki nama besar.
Kang Abik langsung akrab dengan siapa pun yang mendekat dengannya, meski sekedar meminta foto bersama. Saya, yang jelek-jelek begini juga seorang penulis (haha…), yang tidak terkenal tapi kadang besar kepala (hehe..), saya mendapatkan inspirasi dan keteladanan dari sosok Kang Abik. Tetap ramah, rendah hati, dan tidak sombong. Begitu!
Matur suwun Kang Abik…
- Dr. KH. Agus Maftuh Abegebriel
Tak banyak informasi yang saya tahu tentang alumni Futuhiyyah yang satu ini, meski sejak lama saya tahu (bahkan sejak saya masih nyantri di Futuhiyyah di tahun 1990-an) bahwa beliau adalah alumni Futuhiyyah.
Saya mendengar nama beliau lamat-lamat sebagai alumni Futuhiyyah saat saya nyantri,bahkan saat masih menjadi santri baru di Pesantren Futuhiyyah, di mana saat itu di Pesantren Futuhiyyah digelar seminar berjudul (kalau tidak salah) “Reformulasi Tradisi Pesantren” yang diadakan oleh mahasiswa dari Yogyakarta (saya lupa nama organisasinya). Saat itulah saya mendengar nama Agus Maftuh sebagai alumi Futuhiyyah.
Setelahnya, saya tak pernah tahu jejak kehidupan beliau, hingga beberapa bulan lalu melalui saluran media sosial, baik facebook maupun whatsapps, saya dapat kiriman publikasi Reuni Akbar 2017 Alumni Futuhiyyah Mranggen, di mana tercantun di jadwal reuni acara Halaqah Kebangsaan dengan mengusung tema “Menolak Radikalisme dan Merawat Kebhinekaan” yang salah satu pembicaranya tertulis Dr. KH. Agus Maftuh Abegebriel, dengan jabatan tertulis “Duta Besar RI untuk Arab Saudi”.
Beruntung saya dapat hadir di reuni tersebut dan mengenal sosok alumni Futuhiyyah satu ini, karena saya dan seluruh yang hadir dapat mengenal beliau dan memperoleh pencerahan tentang spirit kebangsaan dalam perspektif Islam yang disampaikan secara lantang, lugas, dan jelas, dengan diselingi banyolan-banyolan segar berbahasa Arab yang bikin gerr dan perut terkocok-kocok haha….
Meski seorang duta besar, namun ketawadhuan dan performa kesantrian tetap terjaga pada diri beliau. Di tengah kesibukan beliau yang padat sebagai duta besar di Arab Saudi, beliau tetap menyempatkan waktu untuk hadir di Reuni Akbar 2017 Alumni Futuhiyyah Mranggen.
Terimalah salam ta’dzim saya, pak kiai Agus Maftuh…
* * *
Itulah dua tokoh kebanggaan yang telah saya kenal dan ketahui sejak lama sebagai alumni Futuhiyyah. Namun, ternyata, masih banyak lagi alumnus Futuhiyyah yang telah menorehkan inspirasi dahsyat yang belum saya ketahui, dan baru saya tahu setelah menghadiri reuni.
Mereka di antaranya adalah:
- Prof. Dr. Muhibbin, M.Ag (Rektor UIN Walisongo Semarang);
- Prof. Dr. KH. Maskuri Abdillah, MA (Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta);
- Dr. Farid Mustofa (Dosen Filsafat UGM Togyakarta);
- Dr. In’amuzzahidin, MA (Dosen IAIN Walisongo Semarang);
- Ali Masyhar (Kepala SKK Migas Jawa Bali Nusa Tenggara);
- H. Muhammad Arwani Thomafi (Anggota DPR-RI periode 2014-2019)
- KH. Shodiq Hamzah (Pengasuh PP. Asy-Shodiqiyyah, Sawah Besar, Kaligawe, Semarang);
- KH. Drs. Qodirun Nur (Pengasuh PP.Al-Hikmah Penggaron Semarang);
- KH. Drs. Syarofuddin Husein (Pengasuh PP. Syaroful Millah, Penggaron, Semarang);
- KH. Shodiq Soemardi (Pengasuh PP. Podorejo, Ngaliyan, Semarang);
- KH. Muslich Abdurrochim (Pengasuh pesantren di Tasikmalaya);
- Dan masih banyak lagi.
Banyaknya alumni Futuhiyyah yang menjadi tokoh-tokoh besar di berbagai bidang, menunjukkan dahsyatnya kiprah dan kontribusi Futuhiyyah bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Dan beruntung saya pernah mencicipi nyantri di pesantren ini dan saya mengenal sosok-sosok tersebut sebagai inspirasi bagi saya untuk juga terus menerus berkiprah membangun peradaban umat sejangkau yang bisa saya berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar